Selasa, 05 April 2016

Pentingnya Memiliki Kemampuan Pedagogik Bagi Guru Matematika SMP di Indonesia

Matematika merupakan suatu mata pelajaran yang termasuk dalam kajian ilmu eksakta. Matematika di Indonesia telah diajarkan dari tingkat Sekolah Dasar hingga ke tingkat Sekolah Menengah Atas. Pendidikan matematika di Indonesia berkembang sejalan dengan perkembangan pendidikan matematika dunia, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, dan perubahan pandangan tentang hakikat matematika.  Perubahan pandangan tentang hakikat matematika mendorong terjadinya perubahan substansi kurikulum dan praktik pembelajaran di kelas. Sementara itu perubahan pandangan tentang pembelajaran matematika sangat dipengaruhi oleh terjadinya perkembangan mengenai teori belajar (Suryadi, 2011).


            Sejak tahun 1968, di Indonesia telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum matematika sekolah. Perubahan kurikulum tersebut juga berdampak pada perubahan kurikulum pada matematika. Adapun nama –nama kurikulum tersebut sebagai beikut: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1996, dan Kurikulum 1999, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan yang terakhir sampai saat ini adalah Kurikulum 2013. Sejalan dengan perubahan kurikulum tersebut praktik belajar mengajar matematika juga mengalami perubahan. Perubahan praktik belajar mengajar tersebut ditandai dengan beberapa adaptasi model dan metode pembelajaran dari negara-negara lain seperti kontruktivisme, kontekstual, dan lain sebagainya.
            Akan tetapi, perubahan kurikulum dan perubahan praktik mengajar matematika di sekolah belum membawa hasil yang baik dalam prestasi matematika di Indonesia. Salah satu penelitian dalam matematika yang diikuti oleh Indonesia adalah TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). Jenjang pendidikan yang mengikuti riset TIMSS ini adalah Sekolah Menengah Pertama khususnya kelas VIII. TIMSS tidak hanya menyelidiki prestasi siswa dalam matematika, namun juga kurikulum matematika, metode pengajaran, dan sebagainya (Liu, 2008).
Berdasarkan hasil studi TIMSS 2011, capaian rata-rata prestasi matematika Indonesia pada tahun 2011 menurun dibanding pada tahun 2007 yaitu 397. Pada tahun 2011 hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tentang prestasi matematika siswa di Indonesia, dalam hal ini siswa kelas VIII SMP berada di peringkat ke-38 dari 42 negara peserta dengan skor rata-rata 386, sedangkan skor rata-rata internasional 500 (Mullis et al, 2012).

            Dalam TIMSS 2011 assessment framework (Mullis et al, 2012), terbagi atas dua dimensi, yaitu dimensi konten yang menentukan materi pelajaran dan dimensi kognitif menentukan proses berpikir yang digunakan peserta didik saat terkait dengan konten. Konten pada standar isi pembelajaran matematika di Indonesia sudah setaraf dengan kurikulum pada negara-negara lain. Namun dalam hal dimensi kognitif, yaitu bagaimana pengembangan pembelajaran matematika di sekolah masih perlu mendapat perhatian (Rosnawati, 2013). Adapun hasil pencapaian dimensi kognitif siswa di Indonesia pada TIMSS 2011, yaitu: 37% dalam aspek knowing, 23% aspek applying, dan hanya 17% aspek reasoning. Dari hasil tersebut terlihat bahwa pembelajaran matematika di Indonesia khusunya kelas VIII SMP masih belum berprestasi baik dan masih belajar pada tingkatan kognitif yang rendah.
            Prestasi matematika siswa di Indonesia yang masih sangat rendah tersebut mendapat suatu sorotan yang besar dari masyarakat Indonesia. Tentunya masalah ini merupakan pekerjaan rumah yang sangat penting bagi pemerintah dan terutama guru sebagai ujung tombak pendidikan di Indonesia. Guru sebagai salah satu faktor yang paling penting dalam pendidikan matematika bukan hanya mempengaruhi siswa pada pengetahuan matematika tetapi juga bertanggung jawab terhadap pelajaran yang diberikan apakah membuat kesalahpahaman dan membingungkan siswa (She et al, 2014).
Munculnya UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru-Dosen dan Peraturan Mendiknas nomor 11 tahun 2005 serta SNP (Standar Nasional Pendidikan) merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme dan memprofesikan guru. Undang-undang tersebut dibuat dalam upaya untuk menjadikan guru sebagai profesi yang profesional, sehingga harus memiliki berbagai kompetensi agar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
Secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal tersebut bisa di lihat dari kualifikasi pendidikan guru, yaitu dari 2,92 juta guru, baru sekitar 51 persen yang berpendidikan S-1 atau lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1. Bila diperinci lagi, hanya 22,6 persen guru SD yang sarjana dan tidak sampai 28 persen guru SMP yang sarjana dengan rata-rata umur guru sudah di atas 40 tahun (Kompas, 7 Desember 2012). Begitu pun dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,6 juta guru atau sekitar 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi. Adapun 861.670 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi, yakni sertifikat yang menunjukkan guru tersebut profesional.  Selain itu, nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5 dengan nilai standar kompetensi guru adalah 75 (Kompas, 7 Maret 2012).

Di lain pihak, peningkatan kompetensi guru matematika juga terus dilakukan salah satunya melalui P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) Matematika dengan misi menumbuhkan citra matematika sebagai mata pelajaran yang mudah dan menyenangkan. Kompetensi guru secara umum yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi tersebut terdiri dari 4 hal, yaitu: Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional.
Dari ke empat kompetensi tersebut, kompetensi pedagogik merupakan salah satu hal yang penting harus dimiliki guru dalam mengajar dan mendidik. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2007 terdapat 10 standar kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru mata pelajaran. Meski penelitian mengenai hubungan antara kemampuan pedagogis guru dengan kemampuan siswa jarang ditemui, beberapa penelitian mengenai hal tersebut sejauh  ini mulai menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan pedagogis guru dengan pengajaran berkualitas sehingga berdampak pada hasil belajar siswa (Guerriero. 2014).. Pentingnya kompetensi pedagogik guru dalam mengajar juga berdampak terhadap prestasi belajar matematika di Amerika Serikat. Hal ini sesuai dengan sebuah jurnal yang menyatakan bahwa kurangnya kompetensi pedagogik guru berdampak langsung terhadap prestaji ujian standar matematika di Amerika Serikat (Hill & Lubienski, 2007). Standar kualitas pendidikan yang tinggi, kurikulum, bahan ajar, dan penilaian merupakan hal yang penting dalam pembelajaran. Namun empat hal tersebut tidak cukup untuk meningkatkan prestasi matematika siswa, perpaduan konten matematika dan kompetensi pedagogik merupakan kunci meningkatkanya prestasi matematika siswa (Powel & Hanna, 2006).
Menurut Shulman (1986) dan Ball et al. (2005) bahwa seorang guru matematika memerlukan pengetahuan matematika yang melampaui pengetahuan matematika itu sendiri dan pengetahuan untuk mengajar siswa.  Pengajaran akan menjadi efektif bila guru mampu memahami ide-ide dan penalaran siswa dalam matematika sehingga membuat siswa dapat memahami matematika dengan baik.  Menurut pandangan pedagogik, guru sesungguhnya tidak dapat menyampaikan atau mengkomunikasikan pengetahuan pada siswa melainkan mengajak siswa untuk terlibat dengan tugas matematika. Melalui keterlibatan siswa dalam matematika, maka akan muncul ide-ide dan penalaran matematika pada siswa sehingga siswa dapat membangun pengetahuan dalam dirinya (Powell & Hanna, 2006).
Kompetensi pedagogik yang dimaksud di Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 merupakan perpaduan antara general pedagogical knowledge dan pedagogical content knowledge. Pedagogical knowledge yang dimaksud terdiri dari dua aspek, yaitu:  Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual & Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik. Kemudian pedagogical content knowledge yang dimaksud terdiri dari 8 aspek, yaitu: Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik; Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu; Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik; Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran; Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki; Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; serta Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
 Pentingnya kompetensi pedagogik guru tersebut belum dimiliki oleh guru-guru di Indonesia. Fakta tersebut ditulis dalam sebuah artikel dalam majalah online okezone dengan judul “Kompetensi Pedagogis Guru di Indonesia rendah”. Menurut pengamat pendidikan, Mohammad Abduhzen, kompetensi guru dalam hal kompetensi pedagogik masih terbilang rendah dilihat dari cara guru mengajar siswa dengan cara yang membosankan. Ia juga menambahkan bahwa guru mengajar seperti ‘ritual’, tidak dibarengi penyampaian materi pelajaran yang menyenangkan dan efektif bagi siswa. Menurut Mohammad Abduhzen, kurangnya kemampuan pedagogik pada guru disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya minimnya evaluasi dan pembaruan kompetensi guru. Lebih lanjut ia juga menambahkan bahwa sistem pendidikan guru di LPTK sudah usang dan puluhan tahun tidak diperbarui (Okezone, 21 November 2014).
Bila kompetensi pedagogik guru di Indonesia tidak segera diperbaiki maka pembelajaran matematika dan prestasi yang diharapkan tidak akan dapat terwujud. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, guru yang memiliki kompetensi pedagogik akan melakukan kegiatan pembelajaran yang tidak monoton dan mampu membangkitkan minat siswa dalam belajar. Esai ini bertujuan untuk menjelaskan kompetensi yang penting harus dimiliki guru dalam mengajar, yaitu kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik yang dimaksud dalam esai ini adalah perpaduan antara pedagogical knowledge dan pedagogical content knowledge yang mengacu pada standar kompetensi guru berdasrakan Peaturan Menteri Nomor 16 tahun 2007. Kompetensi ini sangat perlu mendapat perhatian mengingat perkembangan dan usia siswa juga sejalan dengan perkembangan kognitifnya sehingga guru perlu suatu kemampuan untuk memahami dan mengajar sesuai karakteristik siswa.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dijelaskan definisi kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.  Lebih lanjut Shulman (1987) mendefinisikan kompetensi pedagogik sebagai prinsip dan strategi yang luas dalam pengelolaan kelas serta pengaturan yang muncul untuk mengatasi masalah dalam pembelajaran. Dalam kompetensi pedagogik guru dituntut untuk dapat memahami peserta didiknya serta memahami bagaimana memberikan pengajaran yang benar pada peserta didik. Kompetensi pedagogik adalah keterampilan atau kemampuan yang harus dikuasai seorang guru dalam melihat karakteristik siswa dari berbagai aspek kehidupan, baik itu moral, emosional, maupun intelektualnya. Implikasi dari kemampuan ini tentunya dapat terlihat dari kemampuan guru dalam menguasai prinsip-prinsip belajar, mulai dari teori belajarnya hingga penguasaan bahan ajar.
Pengetahuan pedagogik menjadi sesuatu yang harus dimiliki guru di Indonesia terlebih dalam pelaksanaan kurikulum 2013 dimana terjadi banyak perubahan standar proses pembelajaran dalam kelas. Proses belajar yang semula terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Pembelajaran tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat dan menjadikan guru bukan satu-satunya sumber belajar. Selain itu, pergeseran dari penilain melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil).
Ada sebuah peribahasa yang menyatakan bahwa, “Untuk memberikan siswa secangkir air, guru pertama harus memiliki seember air”. Peribahasa ini jelas menyampaikan pentingnya pengetahuan guru dalam mengajar terlebih dalam menghadapi perubahan kurikulum matematika. Sebagian guru menjawab bahwa mereka memiliki “ember air”, tetapi apakah ember air tersebut cukup untuk memenuhi tuntutan kurikulum?” (Ning, 2009). Jelas sekali bahwa pergantian kurikulum matematika perlu dibarengi dengan pengetahuan konten, standar kurikulum, dan pengetahuan pedagogi.
Hal ini pula yang terjadi di Indonesia, meski kurikulum berganti tetapi proses pembelajaran tidak berubah. Hal ini diperkuat oleh Henny Supolo seorang pelatih guru yang menyatakan, “Kenyataannya, pola mengajar guru tidak berubah. Guru tetap memberikan materi di depan kelas dan murid mendengarkan. Guru tidak bisa disalahkan karena guru tidak pernah diberikan pelatihan”. Fakta inilah yang menjadi paradoks pendidikan di Indonesia. Melalui fenomena ini menarik untuk dikaji bagaimana pengetahuan pedagogik guru di negara dengan prestasi matematika yang tinggi.
Sebuah penelitian yang membandingkan pedagogical content knowledge antara guru matematika di Cina dan Amerika menjelaskan bahwa pedagogical content knowledge berpengaruh terhadap prestasi matematika antara Cina dan Amerika pada studi TIMSS 2007 dimana Cina mendapat peringkat lebih tinggi dari Amerika. Penelitian ini menjelaskan bahwa guru di Cina lebih banyak menggunakan kemampuan pedagogical content knowledge dalam mengajar. Sedangkan guru di Amerika Serikat cenderung menggunakan pendekatan yang praktis dan kurang memahami teori-teori dasar. Guru di Cina lebih menekankan konsep matematika yang prosedural sehingga siswa paham bahwa matematika merupakan suatu pengetahuan yang utuh. Guru di Cina juga lebih memanfaatkan teori dan prosedur belajar dalam pengajarannya (She et al, 2014).
Terdapat perbedaan yang signifikan dalam strategi pemecahan masalah dan metode pengajaran antara guru di Cina dan Amerika. Guru Cina lebih suka mengatasi masalah dengan mencari kata kunci untuk mengatur hubungan langsung sementara guru di Amerika  lebih suka mengggambarkan secara visual ketika memecahkan masalah. Selanjutnya, guru Cina memilah masalah dalam bebrapa kategori berdasarkan struktur kata dan mencari pendekatan yang berbeda untuk menangani suatu kasus sedangkan guru Amerika lebih cenderung mengambil hal yang praktis dan trial error. Fakta di atas sejalan dengan penelitian Guerriero (2014) yang menyatakan bahwa ,”…..guru dari negara-negara yang berada pada peringkat atas di PISA dan TIMSS cenderung memiliki lebih banyak kesempatan untuk mempelajari isi, konten pedagogis dan pedagogi umum”.
Guru yang mempunyai kemampuan pedagogik, tentunya harus disesuaikan mengetahui karakteristik siswa yang di ajar. Dalam essay ini, yang dibahas adalah siswa kelas VIII SMP dengan umur 14-15 tahun. Menurut Papalia (2008) umur 14-15 tahun merupakan masa remaja awal. Remaja telah memasuki tahap operasional formal dalam perkembangan kognitif, yaitu mulai berpikir dalam istilah yang abstrak dan menciptakan bayangan situasi ideal (Santrock, 2007). Selain itu remaja mulai berfikir seperti ilmuwan dengan bernalar hipotetikal-deduktif, yaitu mengembangkan hipotesis dan memperkirakan cara pemecahan masalah (Santrock, 2003).
Selain perkembangan kognitif, perkembangan emosi remaja juga perlu menjadi perhatian guru karena berhubungan dengan cara penyampaian dan interaksi di kelas. Hurlock (1999) menyatakan bahwa keadaan emosi remaja berada pada periode badai dan tekanan (storm aand stress) yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi pada remaja dikarenakan para remaja berada di bawah tekanan sosial serta menghadapi kondisi dan harapan baru. Hal tersebut menyebabkan remaja mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Perkembangan kognitif dan emosi remaja merupakan hal yang harus mendapat perhatian sebagai guru professional. Guru yang professional bukan hanya melibatkan pengetahuan saja, melainkan juga keterampilan, sikap, dan motivasi dalam mengajar (Blömeke dan Delaney, 2012). Menurut Voss et al (2011) guru perlu memiliki pengetahuan tentang karakterisitik siswa dalam hal: perkembangan kognitif siswa, motivasi, dan heterogenitas emosional siswa. Selain itu guru yang mempunyai pengetahuan pedagogik akan melaksanakan pembelajaran dengan: mendukung dan mendorong kemajuan belajar individu, memberikan pujian, dan mengkaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
Adedoyin (2011) meneliti dampak dari kemampuan pedagogik guru dan bagaimana guru mengajar matematika dengan kemampuan pedagogik. Sampel penelitian terdiri dari empat ratus lima puluh siswa SMP dari 15 sekolah di Bostwana. Dari kuisioner yang dibagikan memberikan hasil bahwa siswa merasakan dampak dari pengetahuan pedagogik yang dalam dari guru mereka terhadap hasil belajar mereka di sekolah. Hasil juga menunjukkan bahwa guru matematika yang memiliki kemampuan pedagogik mendalam mengajar matematika dengan memperhatikan perkembangan kognitif siswanya. Guru mengajar matematika dengan cara berpikir logis, mengatasi kesalah pahaman murid, memeberikan gambaran konsep-konsep matematika dengan baik, menggunakan berbagai strategi belajar yang berbeda untuk mengembangkan pemahaman siswa dalam matematika, dan menyadari kesulitan belajar siswa. Kemampuan pedagogik yang mendalam dari guru dilihat tidak hanya dari cara mengajar saja, melainkan juga drai pandangannya mengenai pendidikan, emosi dalam mengajar, desain pengajaran, bahasa dalam mengajar, perspektif siswa dalam matematika, dan sikap siswa dalam belajar (She et al, 2011).
Dari berbagai hal yang diuraikan di atas, Kemampuan pedagogik adalah salah satu kemampuan yang kurang diberi perhatian dalam pengajaran matematika di Indonesia. Namun kenyataannya, negara dengan prestasi matematika yang tinggi cenderung memiliki guru yang mempunyai pengetahuan pedagogik yang cukup memadai dalam mengajar siswa. Beberapa penelitian di atas juga menunjukkan bahwa terjadi korelasi antara guru yang mempunyai kemampuan pedagogik yang baik dengan hasil belajar yang diperoleh siswa di sekolah. Tentunya, banyak sekali hal yang harus ditingkatkan oleh guru di Indonesia, baik dalam pengetahuan matematika itu sendiri maupun kemampuan pedagogik dalam mengajar. Sama seperti pengetahuan yang terus berkembang, pengetahuan guru dalam mengajar pun harus terus ditingkatkan untuk terciptanya pembelajaran matematika yang optimal di Indonesia. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, pentingya kemampuan pedagogik dalam mengajar matematika harus mnjadi perhatian khusus dan harus ditingkatkan bagi guru matematika di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar