Matematika
merupakan suatu mata pelajaran yang termasuk dalam kajian ilmu eksakta.
Matematika di Indonesia telah diajarkan dari tingkat Sekolah Dasar hingga ke
tingkat Sekolah Menengah Atas. Pendidikan matematika di Indonesia berkembang
sejalan dengan perkembangan pendidikan matematika dunia, perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan, dan perubahan pandangan tentang hakikat matematika. Perubahan pandangan tentang hakikat matematika
mendorong terjadinya perubahan substansi kurikulum dan praktik pembelajaran di
kelas. Sementara itu perubahan pandangan tentang pembelajaran matematika sangat
dipengaruhi oleh terjadinya perkembangan mengenai teori belajar (Suryadi,
2011).
Sejak tahun 1968, di Indonesia telah
terjadi beberapa kali perubahan kurikulum matematika sekolah. Perubahan kurikulum
tersebut juga berdampak pada perubahan kurikulum pada matematika. Adapun nama
–nama kurikulum tersebut sebagai beikut: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975,
Kurikulum 1984, Kurikulum 1996, dan Kurikulum 1999, Kurikulum Berbasis
Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan yang terakhir
sampai saat ini adalah Kurikulum 2013. Sejalan dengan perubahan kurikulum
tersebut praktik belajar mengajar matematika juga mengalami perubahan.
Perubahan praktik belajar mengajar tersebut ditandai dengan beberapa adaptasi
model dan metode pembelajaran dari negara-negara lain seperti kontruktivisme,
kontekstual, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, perubahan kurikulum dan
perubahan praktik mengajar matematika di sekolah belum membawa hasil yang baik
dalam prestasi matematika di Indonesia. Salah satu penelitian dalam matematika
yang diikuti oleh Indonesia adalah TIMSS (Trends
in International Mathematics and Science Study). Jenjang pendidikan yang
mengikuti riset TIMSS ini adalah Sekolah Menengah Pertama khususnya kelas VIII.
TIMSS tidak hanya menyelidiki prestasi siswa dalam matematika, namun juga kurikulum
matematika, metode pengajaran, dan sebagainya (Liu, 2008).
Berdasarkan
hasil studi TIMSS 2011, capaian rata-rata prestasi matematika Indonesia pada
tahun 2011 menurun dibanding pada tahun 2007 yaitu 397. Pada tahun 2011 hasil
studi TIMSS (Trends in International
Mathematics and Science Study) tentang prestasi matematika siswa di
Indonesia, dalam hal ini siswa kelas VIII SMP berada di peringkat ke-38 dari 42
negara peserta dengan skor rata-rata 386, sedangkan skor rata-rata
internasional 500 (Mullis et al, 2012).
Dalam TIMSS 2011 assessment
framework (Mullis et al, 2012), terbagi atas dua dimensi, yaitu dimensi
konten yang menentukan materi pelajaran dan dimensi kognitif menentukan proses
berpikir yang digunakan peserta didik saat terkait dengan konten. Konten pada
standar isi pembelajaran matematika di Indonesia sudah setaraf dengan kurikulum
pada negara-negara lain. Namun dalam hal dimensi kognitif, yaitu bagaimana
pengembangan pembelajaran matematika di sekolah masih perlu mendapat perhatian
(Rosnawati, 2013). Adapun hasil pencapaian dimensi kognitif siswa di Indonesia
pada TIMSS 2011, yaitu: 37% dalam aspek knowing,
23% aspek applying, dan hanya 17%
aspek reasoning. Dari hasil tersebut
terlihat bahwa pembelajaran matematika di Indonesia khusunya kelas VIII SMP
masih belum berprestasi baik dan masih belajar pada tingkatan kognitif yang
rendah.
Prestasi matematika siswa di
Indonesia yang masih sangat rendah tersebut mendapat suatu sorotan yang besar
dari masyarakat Indonesia. Tentunya masalah ini merupakan pekerjaan rumah yang
sangat penting bagi pemerintah dan terutama guru sebagai ujung tombak
pendidikan di Indonesia. Guru sebagai
salah satu faktor yang paling penting dalam pendidikan matematika bukan hanya
mempengaruhi siswa pada pengetahuan matematika tetapi juga bertanggung jawab
terhadap pelajaran yang diberikan apakah membuat kesalahpahaman dan membingungkan
siswa (She et al, 2014).
Munculnya
UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru-Dosen dan Peraturan Mendiknas nomor 11 tahun
2005 serta SNP (Standar Nasional Pendidikan) merupakan upaya pemerintah untuk
meningkatkan profesionalisme dan memprofesikan guru. Undang-undang tersebut dibuat
dalam upaya untuk menjadikan guru sebagai profesi yang profesional, sehingga
harus memiliki berbagai kompetensi agar dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran.
Secara
umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai dengan
yang diharapkan. Hal tersebut bisa di lihat dari kualifikasi pendidikan guru,
yaitu dari 2,92 juta guru, baru sekitar 51 persen yang berpendidikan S-1 atau
lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1.
Bila diperinci lagi, hanya 22,6 persen guru SD yang sarjana dan tidak sampai 28
persen guru SMP yang sarjana dengan rata-rata umur guru sudah di atas 40 tahun
(Kompas, 7 Desember 2012). Begitu pun dari persyaratan sertifikasi,
hanya 2,6 juta guru atau sekitar 70,5 persen guru yang memenuhi syarat
sertifikasi. Adapun 861.670 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi,
yakni sertifikat yang menunjukkan guru tersebut profesional. Selain itu, nilai rata-rata kompetensi guru di
Indonesia hanya 44,5 dengan nilai standar kompetensi guru adalah 75 (Kompas, 7
Maret 2012).
Di lain pihak, peningkatan kompetensi guru matematika juga terus dilakukan salah satunya melalui P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) Matematika dengan misi menumbuhkan citra matematika sebagai mata pelajaran yang mudah dan menyenangkan. Kompetensi guru secara umum yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi tersebut terdiri dari 4 hal, yaitu: Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional.
Dari ke empat kompetensi tersebut, kompetensi pedagogik merupakan salah
satu hal yang penting harus dimiliki guru dalam mengajar dan mendidik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2007 terdapat 10
standar kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru mata pelajaran. Meski
penelitian mengenai hubungan antara kemampuan pedagogis guru dengan kemampuan
siswa jarang ditemui, beberapa penelitian mengenai hal tersebut sejauh ini mulai menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara kemampuan pedagogis guru dengan pengajaran berkualitas sehingga
berdampak pada hasil belajar siswa (Guerriero. 2014).. Pentingnya kompetensi
pedagogik guru dalam mengajar juga berdampak terhadap prestasi belajar
matematika di Amerika Serikat. Hal ini sesuai dengan sebuah jurnal yang
menyatakan bahwa kurangnya kompetensi pedagogik guru berdampak langsung
terhadap prestaji ujian standar matematika di Amerika Serikat (Hill &
Lubienski, 2007). Standar kualitas pendidikan yang tinggi, kurikulum, bahan
ajar, dan penilaian merupakan hal yang penting dalam pembelajaran. Namun empat
hal tersebut tidak cukup untuk meningkatkan prestasi matematika siswa,
perpaduan konten matematika dan kompetensi pedagogik merupakan kunci
meningkatkanya prestasi matematika siswa (Powel & Hanna, 2006).
Menurut
Shulman (1986) dan Ball et al. (2005) bahwa seorang guru matematika memerlukan
pengetahuan matematika yang melampaui pengetahuan matematika itu sendiri dan
pengetahuan untuk mengajar siswa.
Pengajaran akan menjadi efektif bila guru mampu memahami ide-ide dan
penalaran siswa dalam matematika sehingga membuat siswa dapat memahami
matematika dengan baik. Menurut
pandangan pedagogik, guru sesungguhnya tidak dapat menyampaikan atau
mengkomunikasikan pengetahuan pada siswa melainkan mengajak siswa untuk
terlibat dengan tugas matematika. Melalui keterlibatan siswa dalam matematika,
maka akan muncul ide-ide dan penalaran matematika pada siswa sehingga siswa
dapat membangun pengetahuan dalam dirinya (Powell & Hanna, 2006).
Kompetensi pedagogik yang dimaksud di Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 merupakan perpaduan antara general pedagogical knowledge dan pedagogical content knowledge.
Pedagogical knowledge yang dimaksud terdiri dari dua aspek, yaitu: Menguasai karakteristik peserta didik
dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan
intelektual & Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan
peserta didik. Kemudian pedagogical content knowledge yang dimaksud terdiri
dari 8 aspek, yaitu: Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran
yang mendidik; Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang
diampu; Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik; Memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran; Memfasilitasi
pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimiliki; Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil
belajar; Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran; serta Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas
pembelajaran.
Pentingnya kompetensi pedagogik
guru tersebut belum dimiliki oleh guru-guru di Indonesia. Fakta tersebut
ditulis dalam sebuah artikel dalam majalah online okezone dengan judul
“Kompetensi Pedagogis Guru di Indonesia rendah”. Menurut pengamat pendidikan,
Mohammad Abduhzen, kompetensi guru dalam hal kompetensi pedagogik masih
terbilang rendah dilihat dari cara guru mengajar siswa dengan cara yang
membosankan. Ia juga menambahkan bahwa guru mengajar seperti ‘ritual’, tidak
dibarengi penyampaian materi pelajaran yang menyenangkan dan efektif bagi
siswa. Menurut Mohammad Abduhzen, kurangnya kemampuan pedagogik pada guru
disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya minimnya evaluasi dan pembaruan kompetensi
guru. Lebih lanjut ia juga menambahkan bahwa sistem pendidikan guru di LPTK
sudah usang dan puluhan tahun tidak diperbarui (Okezone, 21 November 2014).
Bila kompetensi pedagogik guru di Indonesia tidak
segera diperbaiki maka pembelajaran matematika dan prestasi yang diharapkan
tidak akan dapat terwujud. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, guru
yang memiliki kompetensi pedagogik akan melakukan kegiatan pembelajaran yang tidak
monoton dan mampu membangkitkan minat siswa dalam belajar. Esai ini bertujuan
untuk menjelaskan kompetensi yang penting harus dimiliki guru dalam mengajar,
yaitu kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik yang dimaksud dalam esai ini
adalah perpaduan antara pedagogical
knowledge dan pedagogical content
knowledge yang mengacu pada standar kompetensi guru berdasrakan Peaturan
Menteri Nomor 16 tahun 2007. Kompetensi ini sangat perlu mendapat perhatian
mengingat perkembangan dan usia siswa juga sejalan dengan perkembangan
kognitifnya sehingga guru perlu suatu kemampuan untuk memahami dan mengajar
sesuai karakteristik siswa.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 dijelaskan definisi kompetensi
pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Lebih lanjut Shulman (1987) mendefinisikan kompetensi
pedagogik sebagai prinsip dan strategi yang luas dalam pengelolaan kelas serta
pengaturan yang muncul untuk mengatasi masalah dalam pembelajaran. Dalam
kompetensi pedagogik guru dituntut untuk dapat memahami peserta didiknya serta
memahami bagaimana memberikan pengajaran yang benar pada peserta didik.
Kompetensi pedagogik adalah keterampilan atau kemampuan yang harus dikuasai
seorang guru dalam melihat karakteristik siswa dari berbagai aspek kehidupan,
baik itu moral, emosional, maupun intelektualnya. Implikasi dari kemampuan ini
tentunya dapat terlihat dari kemampuan guru dalam menguasai prinsip-prinsip
belajar, mulai dari teori belajarnya hingga penguasaan bahan ajar.
Pengetahuan pedagogik menjadi
sesuatu yang harus dimiliki guru di Indonesia terlebih dalam pelaksanaan
kurikulum 2013 dimana terjadi banyak perubahan standar proses pembelajaran
dalam kelas. Proses
belajar yang semula terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi
dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan,
menyimpulkan, dan mencipta. Pembelajaran tidak hanya terjadi di ruang kelas,
tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat dan menjadikan guru bukan
satu-satunya sumber belajar. Selain itu, pergeseran dari penilain melalui tes (mengukur
kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur
semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan
hasil).
Ada sebuah peribahasa yang menyatakan bahwa, “Untuk
memberikan siswa secangkir air, guru pertama harus memiliki seember air”. Peribahasa
ini jelas menyampaikan pentingnya pengetahuan guru dalam mengajar terlebih
dalam menghadapi perubahan kurikulum matematika. Sebagian guru menjawab bahwa
mereka memiliki “ember air”, tetapi apakah ember air tersebut cukup untuk memenuhi
tuntutan kurikulum?” (Ning, 2009). Jelas sekali bahwa pergantian kurikulum
matematika perlu dibarengi dengan pengetahuan konten, standar kurikulum, dan
pengetahuan pedagogi.
Hal ini pula yang terjadi di
Indonesia, meski kurikulum berganti tetapi proses pembelajaran
tidak berubah. Hal ini diperkuat oleh Henny Supolo seorang pelatih guru yang
menyatakan, “Kenyataannya, pola mengajar guru
tidak berubah. Guru tetap memberikan materi di depan kelas dan murid
mendengarkan. Guru tidak bisa disalahkan karena guru tidak pernah diberikan
pelatihan”. Fakta inilah yang menjadi paradoks pendidikan di Indonesia. Melalui
fenomena ini menarik untuk dikaji bagaimana pengetahuan pedagogik guru di
negara dengan prestasi matematika yang tinggi.
Sebuah penelitian yang membandingkan
pedagogical content knowledge antara
guru matematika di Cina dan Amerika menjelaskan bahwa pedagogical content knowledge berpengaruh terhadap prestasi
matematika antara Cina dan Amerika pada studi TIMSS 2007 dimana Cina mendapat
peringkat lebih tinggi dari Amerika. Penelitian ini menjelaskan bahwa guru di
Cina lebih banyak menggunakan kemampuan pedagogical
content knowledge dalam mengajar. Sedangkan guru di Amerika Serikat
cenderung menggunakan pendekatan yang praktis dan kurang memahami teori-teori
dasar. Guru di Cina lebih menekankan konsep matematika yang prosedural sehingga
siswa paham bahwa matematika merupakan suatu pengetahuan yang utuh. Guru di
Cina juga lebih memanfaatkan teori dan prosedur belajar dalam pengajarannya
(She et al, 2014).
Terdapat perbedaan yang signifikan
dalam strategi pemecahan masalah dan metode pengajaran antara guru di Cina dan
Amerika. Guru Cina lebih suka mengatasi masalah dengan mencari kata kunci untuk
mengatur hubungan langsung sementara guru di Amerika lebih suka mengggambarkan secara visual ketika
memecahkan masalah. Selanjutnya, guru Cina memilah masalah dalam bebrapa kategori
berdasarkan struktur kata dan mencari pendekatan yang berbeda untuk menangani
suatu kasus sedangkan guru Amerika lebih cenderung mengambil hal yang praktis
dan trial error. Fakta di atas sejalan
dengan penelitian Guerriero (2014) yang menyatakan bahwa ,”…..guru dari
negara-negara yang berada pada peringkat atas di PISA dan TIMSS cenderung
memiliki lebih banyak kesempatan untuk mempelajari isi, konten pedagogis dan
pedagogi umum”.
Guru yang mempunyai kemampuan
pedagogik, tentunya harus disesuaikan mengetahui karakteristik siswa yang di
ajar. Dalam essay ini, yang dibahas adalah siswa kelas VIII SMP dengan umur 14-15
tahun. Menurut Papalia (2008) umur 14-15 tahun merupakan masa remaja awal.
Remaja telah memasuki tahap operasional formal dalam perkembangan kognitif,
yaitu mulai berpikir dalam istilah yang abstrak dan menciptakan bayangan
situasi ideal (Santrock, 2007). Selain itu remaja mulai berfikir seperti
ilmuwan dengan bernalar hipotetikal-deduktif, yaitu mengembangkan hipotesis dan
memperkirakan cara pemecahan masalah (Santrock, 2003).
Selain perkembangan kognitif,
perkembangan emosi remaja juga perlu menjadi perhatian guru karena berhubungan
dengan cara penyampaian dan interaksi di kelas. Hurlock (1999) menyatakan bahwa
keadaan emosi remaja berada pada periode badai dan tekanan (storm aand stress)
yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan
fisik dan kelenjar. Meningginya emosi pada remaja dikarenakan para remaja
berada di bawah tekanan sosial serta menghadapi kondisi dan harapan baru. Hal
tersebut menyebabkan remaja mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapinya.
Perkembangan kognitif dan emosi
remaja merupakan hal yang harus mendapat perhatian sebagai guru professional.
Guru yang professional bukan hanya melibatkan pengetahuan saja, melainkan juga
keterampilan, sikap, dan motivasi dalam mengajar (Blömeke dan Delaney, 2012).
Menurut Voss et al (2011) guru perlu memiliki pengetahuan tentang
karakterisitik siswa dalam hal: perkembangan kognitif siswa, motivasi, dan
heterogenitas emosional siswa. Selain itu guru yang mempunyai pengetahuan
pedagogik akan melaksanakan pembelajaran dengan: mendukung dan mendorong
kemajuan belajar individu, memberikan pujian, dan mengkaitkan dengan pengetahuan
yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
Adedoyin (2011) meneliti dampak dari
kemampuan pedagogik guru dan bagaimana guru mengajar matematika dengan
kemampuan pedagogik. Sampel penelitian terdiri dari empat ratus lima puluh siswa
SMP dari 15 sekolah di Bostwana. Dari kuisioner yang dibagikan memberikan hasil
bahwa siswa merasakan dampak dari pengetahuan pedagogik yang dalam dari guru
mereka terhadap hasil belajar mereka di sekolah. Hasil juga menunjukkan bahwa
guru matematika yang memiliki kemampuan pedagogik mendalam mengajar matematika
dengan memperhatikan perkembangan kognitif siswanya. Guru mengajar matematika
dengan cara berpikir logis, mengatasi kesalah pahaman murid, memeberikan
gambaran konsep-konsep matematika dengan baik, menggunakan berbagai strategi
belajar yang berbeda untuk mengembangkan pemahaman siswa dalam matematika, dan menyadari
kesulitan belajar siswa. Kemampuan pedagogik yang mendalam dari guru dilihat
tidak hanya dari cara mengajar saja, melainkan juga drai pandangannya mengenai
pendidikan, emosi dalam mengajar, desain pengajaran, bahasa dalam mengajar,
perspektif siswa dalam matematika, dan sikap siswa dalam belajar (She et al,
2011).
Dari
berbagai hal yang diuraikan di atas, Kemampuan pedagogik adalah salah satu
kemampuan yang kurang diberi perhatian dalam pengajaran matematika di
Indonesia. Namun kenyataannya, negara dengan prestasi matematika yang tinggi
cenderung memiliki guru yang mempunyai pengetahuan pedagogik yang cukup memadai
dalam mengajar siswa. Beberapa penelitian di atas juga menunjukkan bahwa
terjadi korelasi antara guru yang mempunyai kemampuan pedagogik yang baik
dengan hasil belajar yang diperoleh siswa di sekolah. Tentunya, banyak sekali
hal yang harus ditingkatkan oleh guru di Indonesia, baik dalam pengetahuan
matematika itu sendiri maupun kemampuan pedagogik dalam mengajar. Sama seperti
pengetahuan yang terus berkembang, pengetahuan guru dalam mengajar pun harus
terus ditingkatkan untuk terciptanya pembelajaran matematika yang optimal di
Indonesia. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, pentingya kemampuan
pedagogik dalam mengajar matematika harus mnjadi perhatian khusus dan harus ditingkatkan
bagi guru matematika di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar